Writing is the best way to talk without being interrupted (Jules Renard)

Writing is the best way to talk without being interrupted (Jules Renard)
Bienvenue sur mon site

Selasa, 19 Maret 2019






Kutemukan Cintaku di Swiss


Tanganku mengucek-ucek mataku yang setengah tertutup dan masih enggan keluar dari balutan selimut yang cukup tebal. Hawa di luar masih sangat dingin pertanda bahwa musim dingin belum berakhir. Ritual setiap pagi sebelum melempar selimut dan pergi ke toilet, aku selalu menengok ponsel. Sekedar melihat jam. Tapi lebih parahnya kalau sudah kelantur-lantur jadi online, semua aplikasi jejaring sosial dibuka, mengecek-ngecek meski tidak ada pesan masuk atau tanya kabar dan sekedar mengucapkan selamat pagi. Maklumlah hidup di zona waktu yang berbeda. Aku baru bangun tidur, kalian sudah kelar dari tempa tkerja atau masih ada yang sibuk kerja. Okey, intinya pagi itu, moment special buat aku. Hari Sabtu tanggal 14 Februari.Valentine’s day?  Oh bukan…bukan karena itu. Melainkan hari ini adalah hari pertamaku dapat jatah libur sejak aku menjadi au pair di tanah Napoleon ini.

Satu bulan sebelum berpelesir ke tempat yang sudah kutulis dalam agendaku, aku sudah melakukan reservasi hostel dan mencari tiket bus juga kereta. Aku mencari semua alternatif transportasi di mesin pencarian. pesawat, kereta api, dan bus. Aku bandingkan harga serta fasilitas yang ada. Dan taraaaa….rejeki anak sholekhah! Aku mendapatkan promo tiket bus ke Barcelona Spanyol hanya dengan 38€ untuk pulang pergi.  Padahal harga normal biasanya sekitar 38€-45€ hanya untuk satu jalan. Jadi beruntung sekali aku mendapat potongan 50%nya. Kenapa bisa begitu? Ya, karena sebisa mungkin aku cari yang seekonomis mungkin jadi aku rajin mengecek di internet. Dan untuk pergi ke Jenewa, Swiss aku memilih berkereta karena lebih simple saja, ada yang jemput di stasiun Jenewa. Awalnya aku mengira bahwa tiket kereta dari Roanne, Perancis ke Jenewa berkisar 40-45an €. Benar saja, tapi lagi-lagi rejeki anak sholikhah! He he. Sebelumnya aku telah membeli la carte de jeune seharga 20€ yang berlaku selama satu tahun. La carte de jeune adalah kartu reduksi yang diperuntukkan untuk mbak dan mas yang berumur 18-26 tahun. Untungnya aku masih di bawah 26 tahun (masih muda lah ya, baru 25 tahun.lol) jadi aku bisa mendapatkan kartu itu. Untuk pergi ke Jenewa aku hanya membayar setengah dari harga normalnya. Aku senang sekali, seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan Ibunya. Yeeey! Les vacances!!!

Pada hari Sabtu, 14 Februari aku berkereta menuju Jenewa. Sampai Jenewa malam hari sekitar jam setengah 9. Maklum tiket yang paling murah hanya ada pada jadwal itu. Waktu tempuhnya hanya 3 jam. Akan tetapi jadwal keretaku (yang paling murah) mengharuskan aku menunggu kereta yang dari Lyon ke Jenewa selama 2 jam. Aku pikir tak apalah aku bisa sambil muter-muter di mall dekat stasiun meski harus bawa seperangkat barang-barang a la backpacker. Memang agak sedikit kerepotan sebagaimana barang yang aku bawa adalah persiapan travelingku selama satu minggu. Jadi bisa dibayangkan seberapa banyak bondotan yang aku bawa. Lebih-lebih lagi perempuan, barang-barangnya berasa kayak mau pindahan.

Sebentar-sebentar aku melongok arlojiku. Kan ggak lucu kalau aku harus ketinggalan kereta gegara muter-muter di mall. Yap, okedeh…setengah jam sebelum kereta berangkat, aku kembali ke stasiun. Mainan hape dan online! Hape adalah satu-satunya teman di saat aku sendirian. Gak gaul amat ya ( sekali-kali kek buku yang jadi temen. Ahahahaha….).

Waktu aku utak-utik hape, ada mbak-mbak pakai jilbab bermuka Asia, tepatya bermuka Indonesia. Langsung aja mbaknya nyamperin aku dan bertanya “dari Indonesia ya?” aku jawab dengan anggukan dan senyum seraya bilang “la mbaknya dari mana?” haha… saking bingungnya. Padahal jelas-jelas mbaknya dari Indonesia. Lawong berbahasa Indonesia gitu kok. Aku nyengir dan menertawakan diri sendiri dalam hati.Yah singkat cerita kami ngobrol dan bertukar alamat Fb dan sempat mengabadikan foto selfie kita berdua. Dia sedang menempuh kuliah S3 di Dijon. Waw, keren! Bisikku dalam hati. (kapan aku bisa seperi dia? Hemmm….)

"Mohon perhatian, kereta menuju Jenewa akan segera berangkat" . Buru-buru aku bangkit dari tempat dudukku dan berpamitan dengan mbak dari Dijon. Masuklah aku ke gerbong. Yeeey…. Sebentar lagi aku akan menginjakkan kaki di Swiss.

Sekitar jam 9 malam keretaku tiba di Swiss. Aku dijemput Pak Benoit, beliau adalah muridku waktu di Jogja. Beliau belajar bahasa Indonesia di sekolah bahasa di mana aku bekerja. Ah, ggak nyangka bisa ketemu lagi ya pak. Sampai di rumahnya… aku bertemu cintaku, mau tahu cintaku itu apa?. Oh, ternyata istri pak Benoit yang asli orang Cilacap sudah menyiapkan tempe kemul anget. Baru kali ini ngrasain tempe bak makanan istimewa. Ini bukan lebay ya, kita benar2 akan merasakan betapa istimewanya tahu dan tempe ketika kita tinggal di tempat yang tidak ada makanan tersebut. Oh serunya jadi salah satu jama’ah rantauwiyah.




Tempe kemul, keripik tempe, onde-onde... Oh my! this is heaven!




Bayangin dong ya, di Swiss dijamu kayak gini gimana ga feels like home.Terharus banget gak si?





Bersambung ya guys, semoga gak males2an ngeblog lagi hehe

InsyaAllah akan cerita jalan ke mana aja, sama siapa aja terus hal apa yang gak bisa dilupain sampe sekarang? geli2 sedih, pingin ngakak kalau inget deh haha. Tunggu postingan selanjutnya yaaa... See you in a bit!






Sabtu, 04 Juli 2015

TENTANG KARAKTER

Hari ini buka-buka file lama, tahun 2012 waktu masih ngajar di Realia. Eh tepatnya masih jadi trainee sih. Selama training kami disuruh membuat laporan kegiatan tiap harinya. Nah hari itu khusus dari Ibu Dyah. Salah satu pendiri sekolah bahasa Realia di Jogja. Daripada file-file tercecer, mending aku simpen di blog. so... ini dia...!


 

Rabu, 13-6-2012 dan kamis, 14-6-2012

Training dengan bu Dyah kali ini mengulas tentang karakter. Karakter yang baik sebagai seorang guru tentunya. Sebagai seorang guru kita harus bisa open-minded, berpikiran terbuka. Ada beberapa hal yang membuat seseorang tidak bisa open-minded, antara lain: merasa benar atas hal yang dimiliki, tidak bisa menerima perubahan, gengsi untuk mengakui ada yang lain yang lebih bagus  dari miliknya, tidak mengetahui sisi positif yang bisa dia dapat dari hal baru tersebut, dan merasa tidak mampu menerima hal baru.

Dalam training tersebut kami diminta untuk menilai diri sendiri dan teman yang lain. Apakah kami sudah open-minded atau belum. Masing-masing dari kami mencoba menilai diri sendiri. Untuk saya pribadi,saya bisa open-minded, namun ada hal yang saya rasa masih menjadi kendala dalam kinerja sebagai seorang guru,yaitu sering kali saya merasa tidak mampu dan minder. Dalam training tersebut saya berusaha menjelaskan apa yang saya rasakan selama ini, seperti apa yang bu Dyah amati bahwa saya banyak diam daripada teman yang lain. Saya menjelaskan bahwa saya banyak diam bukan karena malu, tetapi karena terkadang sulit untuk mengungkapkan apa yang sudah terkonsep dalam pikiran, adanya perasaan takut diejek teman ketika saya berbicara hal-hal yang tidak mutu, dan bahkan saya diam memang karena tidak ada ide sama sekali untuk bicara. Ada beberapa masukan dari Bu Dyah untuk mengatasi hal itu, antara lain, tidak usah takut terlihat bodoh di hadapan teman. Ada dua pilihan ketika kita tidak mengetahui suatu hal yang dibicarakan orang lain. Kita akan membiarkan diri kita tidak tahu dengan pura-pura sok tahu, atau kita banyak bertanya, dengan tujuan untuk menggali hal yang kita tidak tahu meskipun harus dengan terlihat bodoh. Semua itu ada prosesnya, jadi tak perlu takut, dan teruslah belajar dalam rangka mengembangkan potensi yang ada dalam diri kita. Bu Dyah juga mengatakan perlunya kita peka terhadap sikap seseorang ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, agar merasa nyaman dan merasa dianggap sebagai lawan bicara yang sedang diajak berkomunikasi. Kita harus peka terhadap senyumannya, tatapan matanya, cara duduknya, dll. Amatilah apakah mereka merasa nyaman atau tidak, eye contact sangat penting dalam berkomunikasi, usahakan melihat lawan bicara ketika mengajak bicara bukan melihat ke arah yang lain. Tersenyumpun harus ada batasnya. Jangan tersenyum tanpa alasan yang jelas , dalam artian harus ada konteks. karena kadang hal itu akan membuat orang lain merasa tidak nyaman dan berpikir tentang maksud dari senyuman yang “tidak ada konteks”. Sesuatu yang too much itu tidak baik, sehinggakita  harus pandai-pandai memporsikannya dalam situasi yang tepat.

Training hari jum’at membahas tentang murid realia yang kebanyakan berumur sekitar 25-40, dimana umur itu masuk kategori dewasa. Hal yang membedakan antara anak-anak dan dewasa antara lain, orang yang dewasa mempunyai pengalaman dan pendidikan yang lebih banyak dari pada anak-anak, cara berpikir dan prinsip juga akan beberbeda. Hal itu akan mempengaruhi cara dalam proses pembelajaran dari segi metode, strategi pembelajaran, dan pendekatan. Dalam proses pembelajaran, orang dewasa akan cenderung tidak mau diperintah, jadi guru harus dapat mensiasati agar tidak terkesan memerintah, bisa dengan dialog seperti ngobrol biasa namun bisa mencover target pembelajaran pada saat itu.

Seorang guru juga perlu mengetahui karakter murid. Hal itu dapat dilakukan dengan bertanya dengan guru yang sudah mengajar si murid sebelumnya, namun akan lebih baik jika kita bisa menggali informasi sendiri dengan cara mengajaknya ngobrol dengan hal-hal yang general dengan satu topik, dengan catatan take and give, tidak hanya bertanya saja karena itu akan menimbulkan kesan interogatif.

Selain itu Bu Dyah juga mengingatkan tentang misi Realia yaitu memberikan pengalaman kerja kepada mahasiwa, hal ini berkaitan dengan bagaimana kita harus belajar tentang kemanusiaan, belajar bagaimana kita berinteraksi dengan baik dalam lingkup sosial, dan akan rugi jika hanya menghitung berapa jam kita bekerja, karena besok akan ada waktunya kita harus mencari uang.

Kamis, 11 Juni 2015

TRADISI JEMUAH PAHINGAN DI MASJID JAMI’ MENGGORO


Kali ini saya ingin menulis tentang tradisi Jemuah Pahingan di desa Menggoro. Tradisi tersebut sampai sekarang masih terpelihara dan masih dilakukan oleh banyak orang. Sekitar tahun 2007, ketika saya masih duduk di bangku Aliyah, saya berkunjung bersama teman-teman dan bertemu  salah satu tokoh masyarakat desa setempat untuk menggali informasi mengenai tradisi ini. Pasalnya kami memang mendapat tugas untuk membuat makalah tentang salah satu budaya lokal. Saya merasa bersyukur dengan tugas ini. Dengan begitu, saya bisa mempelajari setidaknya budaya lokal yang ada di daerah dekat rumah saya. Apalagi kita tahu bahwa Indonesia adalah negara multikultural yang kaya akan budaya. Contohnya di Jawa saja, Jawa mempunyai banyak sekali budaya lokal yang berbeda-beda yang masih terpelihara sampai sekarang. Namun terkadang tidak banyak orang tahu dan mau tahu terhadap budaya lokalnya sendiri. Bagi masyarakat Temanggung, tradisi ini sudah tidak asing lagi di telinga. Namun untuk masyarakat luar Temanggung, mungkin masih ada yang belum tahu meskipun ada banyak juga pengunjung yang datang dari luar Temanggung. So, let’s check this out guys!

Ada yang belum tahu di mana letak desa Menggoro? Menggoro adalah salah satu desa yang berada di kecamatan Tembarak, kabupaten Temanggung. Sekitar 7 km dari pusat kota Temanggung dan dapat ditempuh dengan waktu kurang lebih 20 menit dengan kendaraan. Desa ini meyimpan daya tarik tersendiri dengan adanya wisata religi. Mengapa wisata religi? Ya, karena setiap malam Jum’at Pahing digelar tradisi Jemuah Pahingan. Tradisi ini sudah ada sejak zaman pemerintahan keajaan Demak. Awal mula kegiatan ini adalah kebiasaan masyarakat yang berkumpul setiap malam Jum’at pahing untuk mendengarkan wejangan dari Nyai Brintik, murid Sunan Kalijaga.

Tradisi Jemuah Pahingan dilaksanakan satu kali dalam selapan (35 hari/5 minggu/5 pasaran), yaitu setiap Kamis malam. Inti dari tradisi Jemuah Pahingan tersebut adalah bermujahadah. Mujahadah yaitu berdoa secara bersama-sama yang dilaksanakan di Masjid Jami’ Menggoro. Jemuah Pahing yang dimaksud adalah Kamis malam dalam perhitungan tahun hijriah sementara Pahing merupakan nama salah satu pasaran dalam penanggalan Jawa. Secara tradisi, malam Jum’at merupakan waktu yang baik untuk bermunajat kepada Tuhan dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan memanjatkan doa serta permohonan. Mujahadah yang dilakukan meliputi zikir (mengingat Allah) dengan membaca beberapa surat dan ayat al-Qur’an, mengulang lafadh nama-nama Allah dan kalimat-kalimat suci seperti Laa ilaaha illAllah (Tiada Tuhan selain Allah). Meskipun biasanya mujahadah dilakukan bersama-sama oleh kelompok jama’ah tertentu, tetapi boleh juga dilakukan secara perorangan. Dalam melakukan mujahadah mereka berdoa secara khusuk, penuh konsentrasi dan semata-mata hanya ditujukan kepada Allah SWT. Mereka yang melakukan mujahadah biasanya mempunyai hajat-hajat tertentu seperti minta diberikan kelancaran rejeki, dipermudahkan dalam menempuh ujian, didekatkan dengan jodoh, dan lain sebagainya. Mereka percaya bahwa dengan berdoa dengan khikmat dan sungguh-sungguh, doa dan permohonan mereka akan dikabulkan oleh Allah SWT. Namun ada juga pengunjung yang menyengajakan untuk datang ke Jemuah Pahing karena telah bernadhar. Misalnya saja, jika anak sembuh dari sakit akan mengajak anaknya datang ke Jemuah Pahingan. Apalagi sebuah nadhar adalah janji yang sudah diikrarkan dalam hati dihadapan Allah, jadi mereka harus menepatinya.

Salah satu ciri khas yang terdapat dalam tradisi Jemuah Pahingan adalah adanya kembang boreh. Kembang boreh berisi enjet (kapur sirih) yang dicampur dengan pewarna makanan berwarna kuning, rajangan daun pandan dan bunga mawar. Boreh berasal dari bahasa Jawa yang berarti dioleskan atau dibubuhi. Masyarakat sekitar mempunyai kepercayaan bahwa kembang boreh berfungsi sebagai penolak bala. Biasanya mereka mengoleskan pada leher dan kaki. Usai dioleskan, sisanya dibuang di perempatan dan diberi uang recehan. Hal ini dipercayai dapat membuang bala atau penyakit. Dalam tradisi Jemu’ah Pahingan terdapat simbol-simbol khusus yang mempunyai makna tertentu. Simbol-simbol tersebut terdapat pada makanan khas yang wajib ada seperti cucur, kikil, brongkos, ketupat, dan apem. Cucur yang berarti cucuran keringat (red) melambang kerja keras untuk menuai keberhasilan. Kikil dan brongkos merupakan makanan khas dari desa Menggoro. Kemudian ketupat berasal dari kata lepat, dalam bahasa Jawa berarti salah, sehingga mempunyai arti saling memaafkan ketika seseorang membuat kesalahan. Lalu apem yang melambangkan pengampunan terhadap orang-orang yang berbuat kesalahan, memberikan mereka kesempatan untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Sedangkan kembang boreh sebagai lambang perekat untuk membuang rasa sakit dan dilindungi dari perbuatan tercela. Sehingga namanya akan tetap harum, semerbak seperti bunga. Satu lagi hal yang dipercayai oleh masyarakat adalah barang siapa dapat memeluk saka (tiang) masjid sambil menyentuh pundaknya, atas izin Allah permohonanya akan terkabul. Hal tersebut sangat menarik, melihat tidak semua orang dapat melakukan. Jadi jika Anda datang ke Jemuah Pahingan, Anda boleh mencobanya!  

 Pasar malam juga digelar di depan halaman masjid (ada lahan khusus) untuk memenuhi kebutuhan para pengunjung. Selain makanan-makanan yang telah disebutkan sebelumnya, barang-barang yang dijual adalah jenis pakaian, asesoris, mainan anak dan sebagainya.

Berkaitan dengan tradisi ini, dapat kita pahami bahwa dengan seiring berjalannya waktu, masyarakat Jawa telah mengalami akulturasi budaya. Maka tidak heran jika corak dan bentuk kultur Jawa sangat bervariasi. Tak sedikit budaya Jawa diwarnai dengan unsur budaya yang bermacam-macam seperti animisme, dinamisme dan Islam campur menjadi satu. Unsur Animisme, mereka percaya bahwa suatu benda mempunyai roh sebagai contoh mereka yang datang ke tradisi ini, membeli kembang boreh lalu menabur sisanya di perempatan jalan agar terhindar dari roh jahat dan dilindungi oleh Allah. Kemudian unsur dinamisme, mereka mempercayai adanya benda-benda keramat, dan tempat-tempat tertentu yang mempunyai kekuaan gaib dan mustajab untuk beroa. Seperti masjid adalah tempat yang baik untuk berdoa, mempunyai kekuatan magis. Sementara unsur Islamnya dalah mujahadah yag dilakukan dengan berdoa bersama-sama. Terkait dengan penaburan sisa kembang boreh di perempatan, memang hal tersebut mirip dengan sesaji yang dilakukan umat Hindu dan Budha. Hal ini semakin memperkuat adanya akulturasi dari agama sebelum Islam masuk ke tanah Jawa. Pergeseran budaya yang belum sepenuhnya berubah ke dalam nilai-nilai Islam dan masih terdapat budaya Hindu yang melekat.

Secara historis, ada 2 sumber yang mendasari pernyataan tersebut. Yaitu secara tekstual dan artefaktual.

Data tekstual dapat ditemukan dari prasasti, babad, catatan harian, suat-surat keputusan, dan kisah perjalanan tentang dibangunnya Masjid Menggoro. Ada juga cerita secara turun temurun atau pendapat para tokoh masyarakat setempat. Sejarah keberadaan Masjid Menggoro diceritakan dalam 2 versi:

1.      Berkaitan dengan Nyai Brintik, murid Sunan Kalijaga yang konon makamnya ada di dua tempat. Yakni di Jogopati Tembarak dan satunya lagi di komplek Makam Sewu Bantul Yogyakarta.

2.      Dihubungkan oleh salah satu tokoh Wali songo yaitu Sunan Kalijaga di masa kerajaan Demak. Dalam salah satu perjalanan dakwah beliau di Jawa, beliau sampai ke wilayah  Menggoro kemudian mendirikan sebuah masjid.

Hal ini semakin menguatkan adanya pendapat bahwa pusat kebijaksanaan dalam  perkembangan Islam di tanah Jawa mempunyai hubungan erat dengan keberadaan masjid Jami’ Menggoro ini. Pertumbuhan Islam di Jawa yakni di Demak di bawah kendali Raden Patah (Raja pemeluk Islam pertama di Jawa) dan pertimbangan para wali.

 

Renovasi bangunan masjid juga dilakukan sebagai upaya penyelamatan bangunan. Tentunya merenovasi tanpa mengilangkan ciri khas bangunan tersebut. Kegiatan ini dilakukan pada tahun 1932 yang dipimping langsung oleh Bupati Temanggung Cokrosoetomo, kemudian tahun 1958 dilakukan pemugaran, dan tahun 1989 dilakukan renovasi. Mimbar khotbah yang mirip dengan mimbar di Keraton Yogyakarta juga diganti yang baru karena sudah usang dan rusak. Upaya penyelamatan ini dilakukan agar Masjid Jami’ Menggoro tetap berdiri sebagai salah satu situs peninggalan warisan cagar budaya tanpa harus kehilangan ciri khasnya.

 

 

            Kemudian secara artefaktual, dapat ditunjukan dari beberapa unsur di bawah ini:

1.      Arsitektur dan struktur bangunan dalam masjid yang mengidentifikasikan pola arsitektur masa pertumbuhan Islam di Jawa. Gaya bangunan ini mirip dengan masjid di Demak.

2.      Dua patung sapi betina (Nandini) yang terletak pada plataran masjid. Hal ini menunjukkan bahwa tempat tersebut ada kaitannya dengan peradaban Hindu pada masa silam.  

3.      Candrasengkala (angka tahun yang ditunjukkan oleh rangkaian kata) yang berbunyi : Rasa brahmana resi bumi yang ditulis di gapura masuk halaman masjid. Rangkaian kata tersebut bermakna angka tahun 1786, jadi sekitar tahun 1708 Masehi (praktis pada masa kolonial Belanda). Ornamen gaya garis yang terdapat pada gapura menyerupai gaya bangunan Belanda. Hal ini semakin menguatkan bahwa pembangunan masjid terjadi pada masa penjajahan Belanda.

4.      Dasar bentuk plataran masjid yang menyerupai bangunan ibadah atau pemujaan agama Hindu. Melihat perjalan sejarah yang ada, menunjukkan bahwa eksistensi Masjid Jami’ Menggoro sudah ada sejak masa pertumbuhan Islam di Jawa.

Nah itu tadi beberapa ulasan tentang tradisi Jemuah Pahingan di Masjid Jami’ Menggoro yang masih terjaga sampai sekarang. Menarik bukan? Sarat dengan makanan khas dan simbol-simbol yang mempunyai makna tertentu dengan berbagai ritual yang dilakukan. Dari tradisi tersebut, kita dapat menggali lebih dalam asal usul kegiatan ini dan juga sejarah bertenggernya masjid di dusun Menggoro. Penasaran seperti apa suasana Jemuah Pahingan? Tak ada salahnya Anda menyempatkan datang ke sana, bisa dengan keluarga atau teman-teman. Merasakan hangatnya kearifan lokal masyarakat setempat, menjajal kuliner khas Jemuah Pahingan, atau sekedar menyaksikan ramainya suasana malam hari dan mengagumi keunikan bangunan masjid bersejarah yang berkaitan erat dengan masa pertumbuhan Islam di Jawa pada masa silam.

 

Salam

Adhisree Cetta S

 

 

 

Kamis, 14 Mei 2015

CINTA HAMPA YANG TERBUNGKAM

Ketika setangkai mawar meringkik menjemput impian
Segumpal derita singgah menepi direlung hati
Tersesat sepasang romantika berjalan penuh kehampaan
Lenyap menyisihkan luka beralun dalam sepi
 
Tergetar hatiku kerena sebuah kekeliruan
Anganpun hilang tanpa selang
Menguak ambisiku yang tersimpan
Menjerat impian tak terlupakan
 
Entah badai atau air mata kebohongan yang bersila
Hanya saja aku ragu menerima sebuah cobaan
Bahkan aku tak mampu menatap  derita yang layu dalam vas bunga
Terpaksa tersenyum anggun tak bermakna tanpa cinta
 
Bijak tak jua mampu meredam cinta bengisku
Meski air tuba mulain nampak di atas kelam
Namun aku takkan pernah bisa membuka jendela surga
Karena aku hanya bisa berdiri ditebing kematian
Serta menyongsong cinta hampa yang terbungkam
 
 
(Khusnul Sobihin)
 

Syair Tak Berbuah

Syair Tak Berbuah

 

Deru gemuruh ombak yang berpecah
Ketika laut-laut sedang bermurah
Bukan Alexsandrit sayang……..!
Hanya karang-karang yang usang
 
 Bagai titisan embun yang mengalir dalam nada
Kataku tiada lagi sempurna
Entah esok atau lusa aku bisa merangkainya
Dalam sebuah syair irama syurga
 
Mampukah aku untuk berbagi
Sedang kini aku hidup dalam lilitan senja
Mungkin kutitipkan saja dalam syair yang tak berarati
Dalam nada buah lara
 
Nyanyian-nyanyian gundah, wajahku memerah
Berujung pada syair yang tak berbuah
Hampir aku lari untuk enyah
Dalam hidupku yang semakin terkoyah
 
 
 
 
(Khusnul Sobihin)
 
 

Jumat, 01 Mei 2015

FESTIVAL MUGUET DI PERANCIS

 
Berhijrah ke Perancis dan tinggal selama satu tahun di negara ini, tidak hanya sekedar untuk menyaksikan cantiknya menara Eiffel, jalan-jalan melihat gemerlap monumen-monumen megah, gedung-gedung pencakar langit di kota-kota besar, atau mungkin untuk mencari suami orang Perancis (uhuk…! yang ini kebetulan tidak termasuk misi saya ). Lebih dari itu, selain menambah relasi dengan banyak teman baru, saya juga belajar banyak tentang budaya dan tradisi orang Perancis. Masyarakat Perancis sering menggelar pesta, atau sekedar undangan makan malam dengan keluarga besar dan teman dekat. Dalam setiap tahunnya, festival-festival banyak dirayakan di bumi Napoleon ini. Salah satunya adalah festival Muguet.
Apa itu Muguet? Muguet (dibaca: mugé) adalah nama sebuah bunga berbentuk seperti lonceng kecil-kecil berwarna putih. Nama ilmiahnya adalah Convallaria Majalis, dari Bahasa Latin covallis yang berarti valley dan leiron yang mempunyai arti lily dalam Bahasa Yunani. Jadi Convallaria Majalis adalah Lily of the Valley. Sementara Majalis mempunyai arti Mei. Bulan saat memanen bunga. Ya, bunga-bunga ini hanya mekar di musim semi. Bunga
 
 
Muguet ini tumbuh liar di hutan dan juga dibudidayakan orang Perancis untuk tujuan komersial. Pada tanggal 1 Mei, tampak banyak penjual buket-buket Muguet di sepanjang jalan. Penjualnya dari berbagai umur. Dari anak-anak, remaja, atau orang tua. Perayaan ini dimanfaatkan sebagian orang untuk mencari tambahan pundi-pundi kas mereka. Mereka akan mencari bunga di hutan, kebun-kebun, atau di halaman rumah. Bunga ini tidak membutuhkan perawatan khusus sehingga mudah didapat. Harga satu ikat Muguet bervariasi,dari 1.5€ sampai 10€ atau bisa lebih. Tergantung besar kecil dan isinya, karena ada beberapa buket yang diisi dengan bunga mawar atau bunga yang lain. Buket kecil biasa dijual 1.5€-3€. Harga di toko akan lebih mahal dibandingkan dengan harga di penjual-penjual dadakan di pinggir jalan. Tentu hal ini masuk akal, karena penjual di pinggir jalan tidak dikenai pajak dan tidak perlu ijin tempat. Kebijakan ini mulai sejak awal abad ke 20, mereka dapat menjual Muguet secara bebas tanpa birokrasi  yang ribet.
 
Muguet yang dipercantik dengan jenis bunga lain
 
Pada tanggal 1 Mei yang kebetulan bertepatan dengan Hari Buruh Internasional, terdapat tradisi yang dilakukan oleh orang Perancis. Mereka saling memberikan bunga Muguet untuk orang-orang terdekat. Mereka percaya bahwa bunga ini dapat membawa rejeki,keberuntungan, penolak bala, dan membawa kebahagiaan. Tradisi ini sudah ada sejak tahun 1561 di jaman Raja Charles IX. Sang Raja menerima seonggok bunga Muguet dari lembah bunga yang membuat hati sang Raja senang. Beliaupun menarwakan buket-buket Muguet tersebut kepada semua wanita yang diundang di halaman istananya pada tanggal 1 Mei. Bunga tersebut sebagai lambang cinta, saling menyayangi antar sesama dan harapan semoga mendapat keberuntungan di tahun yang sedang berjalan. Semenjak itu, setiap tanggal 1 Mei masyarakat Perancis merayakan “la fĂȘte du muguet” atau pesta Muguet.
Hari ini tanggal 1 Mei 2015, saya juga mendapat seikat  Muguet kecil dari host dad saya. Seiring dengan kepercayaan yang sudah lama tumbuh di masyarakat tentang bunga ini, semoga saya juga akan mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan. Amin J
 
buket Muguet kecil yang sekarang tersimpan di sudut kamar
 

HUMAN INTEREST

Suatu siang di salah satu sudut Tamansari Yogyakarta