Writing is the best way to talk without being interrupted (Jules Renard)

Writing is the best way to talk without being interrupted (Jules Renard)
Bienvenue sur mon site

Sabtu, 04 Juli 2015

TENTANG KARAKTER

Hari ini buka-buka file lama, tahun 2012 waktu masih ngajar di Realia. Eh tepatnya masih jadi trainee sih. Selama training kami disuruh membuat laporan kegiatan tiap harinya. Nah hari itu khusus dari Ibu Dyah. Salah satu pendiri sekolah bahasa Realia di Jogja. Daripada file-file tercecer, mending aku simpen di blog. so... ini dia...!


 

Rabu, 13-6-2012 dan kamis, 14-6-2012

Training dengan bu Dyah kali ini mengulas tentang karakter. Karakter yang baik sebagai seorang guru tentunya. Sebagai seorang guru kita harus bisa open-minded, berpikiran terbuka. Ada beberapa hal yang membuat seseorang tidak bisa open-minded, antara lain: merasa benar atas hal yang dimiliki, tidak bisa menerima perubahan, gengsi untuk mengakui ada yang lain yang lebih bagus  dari miliknya, tidak mengetahui sisi positif yang bisa dia dapat dari hal baru tersebut, dan merasa tidak mampu menerima hal baru.

Dalam training tersebut kami diminta untuk menilai diri sendiri dan teman yang lain. Apakah kami sudah open-minded atau belum. Masing-masing dari kami mencoba menilai diri sendiri. Untuk saya pribadi,saya bisa open-minded, namun ada hal yang saya rasa masih menjadi kendala dalam kinerja sebagai seorang guru,yaitu sering kali saya merasa tidak mampu dan minder. Dalam training tersebut saya berusaha menjelaskan apa yang saya rasakan selama ini, seperti apa yang bu Dyah amati bahwa saya banyak diam daripada teman yang lain. Saya menjelaskan bahwa saya banyak diam bukan karena malu, tetapi karena terkadang sulit untuk mengungkapkan apa yang sudah terkonsep dalam pikiran, adanya perasaan takut diejek teman ketika saya berbicara hal-hal yang tidak mutu, dan bahkan saya diam memang karena tidak ada ide sama sekali untuk bicara. Ada beberapa masukan dari Bu Dyah untuk mengatasi hal itu, antara lain, tidak usah takut terlihat bodoh di hadapan teman. Ada dua pilihan ketika kita tidak mengetahui suatu hal yang dibicarakan orang lain. Kita akan membiarkan diri kita tidak tahu dengan pura-pura sok tahu, atau kita banyak bertanya, dengan tujuan untuk menggali hal yang kita tidak tahu meskipun harus dengan terlihat bodoh. Semua itu ada prosesnya, jadi tak perlu takut, dan teruslah belajar dalam rangka mengembangkan potensi yang ada dalam diri kita. Bu Dyah juga mengatakan perlunya kita peka terhadap sikap seseorang ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, agar merasa nyaman dan merasa dianggap sebagai lawan bicara yang sedang diajak berkomunikasi. Kita harus peka terhadap senyumannya, tatapan matanya, cara duduknya, dll. Amatilah apakah mereka merasa nyaman atau tidak, eye contact sangat penting dalam berkomunikasi, usahakan melihat lawan bicara ketika mengajak bicara bukan melihat ke arah yang lain. Tersenyumpun harus ada batasnya. Jangan tersenyum tanpa alasan yang jelas , dalam artian harus ada konteks. karena kadang hal itu akan membuat orang lain merasa tidak nyaman dan berpikir tentang maksud dari senyuman yang “tidak ada konteks”. Sesuatu yang too much itu tidak baik, sehinggakita  harus pandai-pandai memporsikannya dalam situasi yang tepat.

Training hari jum’at membahas tentang murid realia yang kebanyakan berumur sekitar 25-40, dimana umur itu masuk kategori dewasa. Hal yang membedakan antara anak-anak dan dewasa antara lain, orang yang dewasa mempunyai pengalaman dan pendidikan yang lebih banyak dari pada anak-anak, cara berpikir dan prinsip juga akan beberbeda. Hal itu akan mempengaruhi cara dalam proses pembelajaran dari segi metode, strategi pembelajaran, dan pendekatan. Dalam proses pembelajaran, orang dewasa akan cenderung tidak mau diperintah, jadi guru harus dapat mensiasati agar tidak terkesan memerintah, bisa dengan dialog seperti ngobrol biasa namun bisa mencover target pembelajaran pada saat itu.

Seorang guru juga perlu mengetahui karakter murid. Hal itu dapat dilakukan dengan bertanya dengan guru yang sudah mengajar si murid sebelumnya, namun akan lebih baik jika kita bisa menggali informasi sendiri dengan cara mengajaknya ngobrol dengan hal-hal yang general dengan satu topik, dengan catatan take and give, tidak hanya bertanya saja karena itu akan menimbulkan kesan interogatif.

Selain itu Bu Dyah juga mengingatkan tentang misi Realia yaitu memberikan pengalaman kerja kepada mahasiwa, hal ini berkaitan dengan bagaimana kita harus belajar tentang kemanusiaan, belajar bagaimana kita berinteraksi dengan baik dalam lingkup sosial, dan akan rugi jika hanya menghitung berapa jam kita bekerja, karena besok akan ada waktunya kita harus mencari uang.

Kamis, 11 Juni 2015

TRADISI JEMUAH PAHINGAN DI MASJID JAMI’ MENGGORO


Kali ini saya ingin menulis tentang tradisi Jemuah Pahingan di desa Menggoro. Tradisi tersebut sampai sekarang masih terpelihara dan masih dilakukan oleh banyak orang. Sekitar tahun 2007, ketika saya masih duduk di bangku Aliyah, saya berkunjung bersama teman-teman dan bertemu  salah satu tokoh masyarakat desa setempat untuk menggali informasi mengenai tradisi ini. Pasalnya kami memang mendapat tugas untuk membuat makalah tentang salah satu budaya lokal. Saya merasa bersyukur dengan tugas ini. Dengan begitu, saya bisa mempelajari setidaknya budaya lokal yang ada di daerah dekat rumah saya. Apalagi kita tahu bahwa Indonesia adalah negara multikultural yang kaya akan budaya. Contohnya di Jawa saja, Jawa mempunyai banyak sekali budaya lokal yang berbeda-beda yang masih terpelihara sampai sekarang. Namun terkadang tidak banyak orang tahu dan mau tahu terhadap budaya lokalnya sendiri. Bagi masyarakat Temanggung, tradisi ini sudah tidak asing lagi di telinga. Namun untuk masyarakat luar Temanggung, mungkin masih ada yang belum tahu meskipun ada banyak juga pengunjung yang datang dari luar Temanggung. So, let’s check this out guys!

Ada yang belum tahu di mana letak desa Menggoro? Menggoro adalah salah satu desa yang berada di kecamatan Tembarak, kabupaten Temanggung. Sekitar 7 km dari pusat kota Temanggung dan dapat ditempuh dengan waktu kurang lebih 20 menit dengan kendaraan. Desa ini meyimpan daya tarik tersendiri dengan adanya wisata religi. Mengapa wisata religi? Ya, karena setiap malam Jum’at Pahing digelar tradisi Jemuah Pahingan. Tradisi ini sudah ada sejak zaman pemerintahan keajaan Demak. Awal mula kegiatan ini adalah kebiasaan masyarakat yang berkumpul setiap malam Jum’at pahing untuk mendengarkan wejangan dari Nyai Brintik, murid Sunan Kalijaga.

Tradisi Jemuah Pahingan dilaksanakan satu kali dalam selapan (35 hari/5 minggu/5 pasaran), yaitu setiap Kamis malam. Inti dari tradisi Jemuah Pahingan tersebut adalah bermujahadah. Mujahadah yaitu berdoa secara bersama-sama yang dilaksanakan di Masjid Jami’ Menggoro. Jemuah Pahing yang dimaksud adalah Kamis malam dalam perhitungan tahun hijriah sementara Pahing merupakan nama salah satu pasaran dalam penanggalan Jawa. Secara tradisi, malam Jum’at merupakan waktu yang baik untuk bermunajat kepada Tuhan dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan memanjatkan doa serta permohonan. Mujahadah yang dilakukan meliputi zikir (mengingat Allah) dengan membaca beberapa surat dan ayat al-Qur’an, mengulang lafadh nama-nama Allah dan kalimat-kalimat suci seperti Laa ilaaha illAllah (Tiada Tuhan selain Allah). Meskipun biasanya mujahadah dilakukan bersama-sama oleh kelompok jama’ah tertentu, tetapi boleh juga dilakukan secara perorangan. Dalam melakukan mujahadah mereka berdoa secara khusuk, penuh konsentrasi dan semata-mata hanya ditujukan kepada Allah SWT. Mereka yang melakukan mujahadah biasanya mempunyai hajat-hajat tertentu seperti minta diberikan kelancaran rejeki, dipermudahkan dalam menempuh ujian, didekatkan dengan jodoh, dan lain sebagainya. Mereka percaya bahwa dengan berdoa dengan khikmat dan sungguh-sungguh, doa dan permohonan mereka akan dikabulkan oleh Allah SWT. Namun ada juga pengunjung yang menyengajakan untuk datang ke Jemuah Pahing karena telah bernadhar. Misalnya saja, jika anak sembuh dari sakit akan mengajak anaknya datang ke Jemuah Pahingan. Apalagi sebuah nadhar adalah janji yang sudah diikrarkan dalam hati dihadapan Allah, jadi mereka harus menepatinya.

Salah satu ciri khas yang terdapat dalam tradisi Jemuah Pahingan adalah adanya kembang boreh. Kembang boreh berisi enjet (kapur sirih) yang dicampur dengan pewarna makanan berwarna kuning, rajangan daun pandan dan bunga mawar. Boreh berasal dari bahasa Jawa yang berarti dioleskan atau dibubuhi. Masyarakat sekitar mempunyai kepercayaan bahwa kembang boreh berfungsi sebagai penolak bala. Biasanya mereka mengoleskan pada leher dan kaki. Usai dioleskan, sisanya dibuang di perempatan dan diberi uang recehan. Hal ini dipercayai dapat membuang bala atau penyakit. Dalam tradisi Jemu’ah Pahingan terdapat simbol-simbol khusus yang mempunyai makna tertentu. Simbol-simbol tersebut terdapat pada makanan khas yang wajib ada seperti cucur, kikil, brongkos, ketupat, dan apem. Cucur yang berarti cucuran keringat (red) melambang kerja keras untuk menuai keberhasilan. Kikil dan brongkos merupakan makanan khas dari desa Menggoro. Kemudian ketupat berasal dari kata lepat, dalam bahasa Jawa berarti salah, sehingga mempunyai arti saling memaafkan ketika seseorang membuat kesalahan. Lalu apem yang melambangkan pengampunan terhadap orang-orang yang berbuat kesalahan, memberikan mereka kesempatan untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Sedangkan kembang boreh sebagai lambang perekat untuk membuang rasa sakit dan dilindungi dari perbuatan tercela. Sehingga namanya akan tetap harum, semerbak seperti bunga. Satu lagi hal yang dipercayai oleh masyarakat adalah barang siapa dapat memeluk saka (tiang) masjid sambil menyentuh pundaknya, atas izin Allah permohonanya akan terkabul. Hal tersebut sangat menarik, melihat tidak semua orang dapat melakukan. Jadi jika Anda datang ke Jemuah Pahingan, Anda boleh mencobanya!  

 Pasar malam juga digelar di depan halaman masjid (ada lahan khusus) untuk memenuhi kebutuhan para pengunjung. Selain makanan-makanan yang telah disebutkan sebelumnya, barang-barang yang dijual adalah jenis pakaian, asesoris, mainan anak dan sebagainya.

Berkaitan dengan tradisi ini, dapat kita pahami bahwa dengan seiring berjalannya waktu, masyarakat Jawa telah mengalami akulturasi budaya. Maka tidak heran jika corak dan bentuk kultur Jawa sangat bervariasi. Tak sedikit budaya Jawa diwarnai dengan unsur budaya yang bermacam-macam seperti animisme, dinamisme dan Islam campur menjadi satu. Unsur Animisme, mereka percaya bahwa suatu benda mempunyai roh sebagai contoh mereka yang datang ke tradisi ini, membeli kembang boreh lalu menabur sisanya di perempatan jalan agar terhindar dari roh jahat dan dilindungi oleh Allah. Kemudian unsur dinamisme, mereka mempercayai adanya benda-benda keramat, dan tempat-tempat tertentu yang mempunyai kekuaan gaib dan mustajab untuk beroa. Seperti masjid adalah tempat yang baik untuk berdoa, mempunyai kekuatan magis. Sementara unsur Islamnya dalah mujahadah yag dilakukan dengan berdoa bersama-sama. Terkait dengan penaburan sisa kembang boreh di perempatan, memang hal tersebut mirip dengan sesaji yang dilakukan umat Hindu dan Budha. Hal ini semakin memperkuat adanya akulturasi dari agama sebelum Islam masuk ke tanah Jawa. Pergeseran budaya yang belum sepenuhnya berubah ke dalam nilai-nilai Islam dan masih terdapat budaya Hindu yang melekat.

Secara historis, ada 2 sumber yang mendasari pernyataan tersebut. Yaitu secara tekstual dan artefaktual.

Data tekstual dapat ditemukan dari prasasti, babad, catatan harian, suat-surat keputusan, dan kisah perjalanan tentang dibangunnya Masjid Menggoro. Ada juga cerita secara turun temurun atau pendapat para tokoh masyarakat setempat. Sejarah keberadaan Masjid Menggoro diceritakan dalam 2 versi:

1.      Berkaitan dengan Nyai Brintik, murid Sunan Kalijaga yang konon makamnya ada di dua tempat. Yakni di Jogopati Tembarak dan satunya lagi di komplek Makam Sewu Bantul Yogyakarta.

2.      Dihubungkan oleh salah satu tokoh Wali songo yaitu Sunan Kalijaga di masa kerajaan Demak. Dalam salah satu perjalanan dakwah beliau di Jawa, beliau sampai ke wilayah  Menggoro kemudian mendirikan sebuah masjid.

Hal ini semakin menguatkan adanya pendapat bahwa pusat kebijaksanaan dalam  perkembangan Islam di tanah Jawa mempunyai hubungan erat dengan keberadaan masjid Jami’ Menggoro ini. Pertumbuhan Islam di Jawa yakni di Demak di bawah kendali Raden Patah (Raja pemeluk Islam pertama di Jawa) dan pertimbangan para wali.

 

Renovasi bangunan masjid juga dilakukan sebagai upaya penyelamatan bangunan. Tentunya merenovasi tanpa mengilangkan ciri khas bangunan tersebut. Kegiatan ini dilakukan pada tahun 1932 yang dipimping langsung oleh Bupati Temanggung Cokrosoetomo, kemudian tahun 1958 dilakukan pemugaran, dan tahun 1989 dilakukan renovasi. Mimbar khotbah yang mirip dengan mimbar di Keraton Yogyakarta juga diganti yang baru karena sudah usang dan rusak. Upaya penyelamatan ini dilakukan agar Masjid Jami’ Menggoro tetap berdiri sebagai salah satu situs peninggalan warisan cagar budaya tanpa harus kehilangan ciri khasnya.

 

 

            Kemudian secara artefaktual, dapat ditunjukan dari beberapa unsur di bawah ini:

1.      Arsitektur dan struktur bangunan dalam masjid yang mengidentifikasikan pola arsitektur masa pertumbuhan Islam di Jawa. Gaya bangunan ini mirip dengan masjid di Demak.

2.      Dua patung sapi betina (Nandini) yang terletak pada plataran masjid. Hal ini menunjukkan bahwa tempat tersebut ada kaitannya dengan peradaban Hindu pada masa silam.  

3.      Candrasengkala (angka tahun yang ditunjukkan oleh rangkaian kata) yang berbunyi : Rasa brahmana resi bumi yang ditulis di gapura masuk halaman masjid. Rangkaian kata tersebut bermakna angka tahun 1786, jadi sekitar tahun 1708 Masehi (praktis pada masa kolonial Belanda). Ornamen gaya garis yang terdapat pada gapura menyerupai gaya bangunan Belanda. Hal ini semakin menguatkan bahwa pembangunan masjid terjadi pada masa penjajahan Belanda.

4.      Dasar bentuk plataran masjid yang menyerupai bangunan ibadah atau pemujaan agama Hindu. Melihat perjalan sejarah yang ada, menunjukkan bahwa eksistensi Masjid Jami’ Menggoro sudah ada sejak masa pertumbuhan Islam di Jawa.

Nah itu tadi beberapa ulasan tentang tradisi Jemuah Pahingan di Masjid Jami’ Menggoro yang masih terjaga sampai sekarang. Menarik bukan? Sarat dengan makanan khas dan simbol-simbol yang mempunyai makna tertentu dengan berbagai ritual yang dilakukan. Dari tradisi tersebut, kita dapat menggali lebih dalam asal usul kegiatan ini dan juga sejarah bertenggernya masjid di dusun Menggoro. Penasaran seperti apa suasana Jemuah Pahingan? Tak ada salahnya Anda menyempatkan datang ke sana, bisa dengan keluarga atau teman-teman. Merasakan hangatnya kearifan lokal masyarakat setempat, menjajal kuliner khas Jemuah Pahingan, atau sekedar menyaksikan ramainya suasana malam hari dan mengagumi keunikan bangunan masjid bersejarah yang berkaitan erat dengan masa pertumbuhan Islam di Jawa pada masa silam.

 

Salam

Adhisree Cetta S

 

 

 

Kamis, 14 Mei 2015

CINTA HAMPA YANG TERBUNGKAM

Ketika setangkai mawar meringkik menjemput impian
Segumpal derita singgah menepi direlung hati
Tersesat sepasang romantika berjalan penuh kehampaan
Lenyap menyisihkan luka beralun dalam sepi
 
Tergetar hatiku kerena sebuah kekeliruan
Anganpun hilang tanpa selang
Menguak ambisiku yang tersimpan
Menjerat impian tak terlupakan
 
Entah badai atau air mata kebohongan yang bersila
Hanya saja aku ragu menerima sebuah cobaan
Bahkan aku tak mampu menatap  derita yang layu dalam vas bunga
Terpaksa tersenyum anggun tak bermakna tanpa cinta
 
Bijak tak jua mampu meredam cinta bengisku
Meski air tuba mulain nampak di atas kelam
Namun aku takkan pernah bisa membuka jendela surga
Karena aku hanya bisa berdiri ditebing kematian
Serta menyongsong cinta hampa yang terbungkam
 
 
(Khusnul Sobihin)
 

Syair Tak Berbuah

Syair Tak Berbuah

 

Deru gemuruh ombak yang berpecah
Ketika laut-laut sedang bermurah
Bukan Alexsandrit sayang……..!
Hanya karang-karang yang usang
 
 Bagai titisan embun yang mengalir dalam nada
Kataku tiada lagi sempurna
Entah esok atau lusa aku bisa merangkainya
Dalam sebuah syair irama syurga
 
Mampukah aku untuk berbagi
Sedang kini aku hidup dalam lilitan senja
Mungkin kutitipkan saja dalam syair yang tak berarati
Dalam nada buah lara
 
Nyanyian-nyanyian gundah, wajahku memerah
Berujung pada syair yang tak berbuah
Hampir aku lari untuk enyah
Dalam hidupku yang semakin terkoyah
 
 
 
 
(Khusnul Sobihin)
 
 

Jumat, 01 Mei 2015

FESTIVAL MUGUET DI PERANCIS

 
Berhijrah ke Perancis dan tinggal selama satu tahun di negara ini, tidak hanya sekedar untuk menyaksikan cantiknya menara Eiffel, jalan-jalan melihat gemerlap monumen-monumen megah, gedung-gedung pencakar langit di kota-kota besar, atau mungkin untuk mencari suami orang Perancis (uhuk…! yang ini kebetulan tidak termasuk misi saya ). Lebih dari itu, selain menambah relasi dengan banyak teman baru, saya juga belajar banyak tentang budaya dan tradisi orang Perancis. Masyarakat Perancis sering menggelar pesta, atau sekedar undangan makan malam dengan keluarga besar dan teman dekat. Dalam setiap tahunnya, festival-festival banyak dirayakan di bumi Napoleon ini. Salah satunya adalah festival Muguet.
Apa itu Muguet? Muguet (dibaca: mugé) adalah nama sebuah bunga berbentuk seperti lonceng kecil-kecil berwarna putih. Nama ilmiahnya adalah Convallaria Majalis, dari Bahasa Latin covallis yang berarti valley dan leiron yang mempunyai arti lily dalam Bahasa Yunani. Jadi Convallaria Majalis adalah Lily of the Valley. Sementara Majalis mempunyai arti Mei. Bulan saat memanen bunga. Ya, bunga-bunga ini hanya mekar di musim semi. Bunga
 
 
Muguet ini tumbuh liar di hutan dan juga dibudidayakan orang Perancis untuk tujuan komersial. Pada tanggal 1 Mei, tampak banyak penjual buket-buket Muguet di sepanjang jalan. Penjualnya dari berbagai umur. Dari anak-anak, remaja, atau orang tua. Perayaan ini dimanfaatkan sebagian orang untuk mencari tambahan pundi-pundi kas mereka. Mereka akan mencari bunga di hutan, kebun-kebun, atau di halaman rumah. Bunga ini tidak membutuhkan perawatan khusus sehingga mudah didapat. Harga satu ikat Muguet bervariasi,dari 1.5€ sampai 10€ atau bisa lebih. Tergantung besar kecil dan isinya, karena ada beberapa buket yang diisi dengan bunga mawar atau bunga yang lain. Buket kecil biasa dijual 1.5€-3€. Harga di toko akan lebih mahal dibandingkan dengan harga di penjual-penjual dadakan di pinggir jalan. Tentu hal ini masuk akal, karena penjual di pinggir jalan tidak dikenai pajak dan tidak perlu ijin tempat. Kebijakan ini mulai sejak awal abad ke 20, mereka dapat menjual Muguet secara bebas tanpa birokrasi  yang ribet.
 
Muguet yang dipercantik dengan jenis bunga lain
 
Pada tanggal 1 Mei yang kebetulan bertepatan dengan Hari Buruh Internasional, terdapat tradisi yang dilakukan oleh orang Perancis. Mereka saling memberikan bunga Muguet untuk orang-orang terdekat. Mereka percaya bahwa bunga ini dapat membawa rejeki,keberuntungan, penolak bala, dan membawa kebahagiaan. Tradisi ini sudah ada sejak tahun 1561 di jaman Raja Charles IX. Sang Raja menerima seonggok bunga Muguet dari lembah bunga yang membuat hati sang Raja senang. Beliaupun menarwakan buket-buket Muguet tersebut kepada semua wanita yang diundang di halaman istananya pada tanggal 1 Mei. Bunga tersebut sebagai lambang cinta, saling menyayangi antar sesama dan harapan semoga mendapat keberuntungan di tahun yang sedang berjalan. Semenjak itu, setiap tanggal 1 Mei masyarakat Perancis merayakan “la fête du muguet” atau pesta Muguet.
Hari ini tanggal 1 Mei 2015, saya juga mendapat seikat  Muguet kecil dari host dad saya. Seiring dengan kepercayaan yang sudah lama tumbuh di masyarakat tentang bunga ini, semoga saya juga akan mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan. Amin J
 
buket Muguet kecil yang sekarang tersimpan di sudut kamar
 

HUMAN INTEREST

Suatu siang di salah satu sudut Tamansari Yogyakarta
 
 
 
 

Kamis, 30 April 2015

SECUIL KARYA FOTOGRAFIKU (LANDSCAPE)

Hobi fotografi muncul saat beberapa kali aku maen atau sekedar ikut temenku hunting. Sejak saat itu, aku mulai mencoba belajar teknik pengambilan gambar, dari angle, komposisi serta pemfokusan objek. Mulai belajar dari yang sangat dasar. Sampai saat ini aku memang belum punya kamera pro. Namun untuk menyalurkan hobi tidak perlu menunggu aku punya kamera pro. Aku mengambil biasanya mengambil gambar dengan kamera hp, kamera poket, pernah juga pake kamera SLR (meski pinjem.ehehe). Di sini aku pengen share beberapa jepretanku. Jauh dari karya fotografer pro pastinya. Tapi seorang fotografer pro pun dia pernah melalui tahap ini, tahap belajar. Doakan ya semoga suatu hari punya senjata baru buat motret :P . Kritik dan saran are very welcome :)


Sisi kanan kanal berbentuk seperti tenda-tenda putih adalah gedung pertunjukan di Baltimore
 
 

National Aquarium Baltimore
 
 

Dua sejoli yang sedang menikmati akhir pecan di kawasan Inner Harbor
 
 

Beautiful sunset in Inner Harbor
 
 

Patterson Park Baltimore
 
 

Gowes-gowes di musim panas
 
 
 
Inner Harbor Baltimore Maryland, United States
 
 
 
Beautiful view from Federal Hill Baltimore
 
 
Saat kemalaman pulang sekolah, foto ini diambil ketika menunggu bus
 
 
 
Hard Rock Café Baltimore
 
 
 

Rabu, 29 April 2015

TUMPENG, NASI CANTIK KAYA AKAN RASA DAN MAKNA


(sumber : www.google.com)
 


Mendengar kata “Tumpeng” tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita. Tumpeng merupakan sajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut. Olahan nasi biasanya berupa nasi kuning, meskipun ada juga yang menggunakan nasi putih biasa atau nasi uduk. Cara penyajian nasi seperti ini merupakan khas Jawa atau masyarakat betawi keturunan Jawa. Tumpeng biasa disajikan saat kenduri atau perayaan peristiwa-peristiwa penting. Tumpeng biasanya disajikan di atas tampah (wadah bundar besar dari anyaman bambu) dan diberi alas daun pisang. Masyarakat Jawa, Bali, dan Madura memiliki tradisi ntuk merayakan peristiwa-peristiwa penting seperti selamatan pernikahan,kehamilan, kelahiran bayi, dan tasyakuran (berterima kasih kepada Tuhan). Hampir semua masyarakat Indonesia di lingkungan pedesaan  maupun di perkotaan mengenal sajian nasi tumpeng ini. Tumpeng ini kaya akan sarat dan makna. Ada filosofi dari bentuk nasi ini. Hal ini berkaitan erat dengan letak geografis Indonesia, terutama pulau Jawa yang terdapat jajaran gunung berapi. Pada jaman dahulu, ketika agama Hindu masuk ke Indonesia, ada banyak orang yang menganut dan memeluk agama Hindu. Penganut agama Hindu memiliki tradisi memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para Hyang atau arwah leluhur. Nasi yang berbentuk kerucut ini dimaksudkan untuk membuat representasi dari gunung Mahameru, gunung suci di mana para dewa-dewi bersemayam.

Keberadaan tumpeng sudah ada sejak lama, sebelum Islam masuk ke pulau Jawa. Namun terjadi akulturasi budaya pada perkembangannya dan berkaitan dengan filosofi Jawa. Hal ini diyakini sebagai pesan leluhur untuk memohon kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Sebagai contoh dalam tradisi masyarakat Islam di Jawa saat mengadakan selamatan atau tasyakuran, mereka menggelar pengajian Al-qur’an sebelum penyajian tumpeng. Menurut tradisi Islam Jawa, “Tumpeng” merupakan akronim dalam bahasa Jawa : ”yen metu kudu sing mempeng” (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh). Ada satu nama makanan lagi yaitu “Buceng” yang terbuat dari beras ketan, akronim dari “yen mlebu kudu sing kenceng” (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh). Sedangkan lauk pauk-pauknya ada 7 macam, angka 7 dalam bahasa Jawa adalah pitu, yang berarti pitulungan (pertolongan). Tiga kalimat akronim tersebut berasal dari sebuah doa dalam surah Al Isra’ ayat 80 yang artinya “Ya Tuhan, masukkanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dariMu kekuasan bagiku yang memberikan pertolongan”. Maka dari itu, ketika seseorang menggelar hajatan dengan tumpeng untuk acara selamatan maksutnya yaitu perlindungan dari Tuhan dan mendapatkan kemulian dalam hidup, dengan berdoa dan berusaha secara sungguh-sungguh.

Dalam masyarakat yang masih memiliki tradisi menggelar kenduri tradisional, tumpeng menjadi salah satu bagian yang penting dalam acara tersebut. Perayaan kenduri sering kali untuk acara selamatan dan syukuran, memohon keselamatan dan berterima kasih kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas rejeki atau hasil panen yang melimpah serta keberkahan yang lain. Maka dari itu, saat ini tumpeng juga sering disajikan dalam rangka merayakan ulang tahun. Hal ini sebagai rasa syukur karena masih diberikan umur, memohon keberkahan umur, dan keberkahan dalam hidup. Seiring dengan perkembangan zaman, nasi tumpeng sudah tampil lebih beragam dengan banyak kreasi. Salah satu contoh adalah nasi tumpeng untuk perayaan pesta anak-anak, masih tetap mempertahankan bentuk lancip kerucut namun sedikit dipermak dengan di hiasi boneka Barbie di bagian tengahnya. Bentuk gunungannya dibuat ada lekukan-lekungan di sisi luar sehingga bentuknya lebih menarik dan cantik, juga dengan garnis yang diletakkan bersama lauk-pauknya.

Lauk-pauk yang menyertai tumpeng beraneka ragam. Sebenarnya tidak ada lauk-pauk baku yang disajikan dengan nasi tumpeng di atas tampah. Akan tetapi, beberapa lauk-pauknya yang biasanya menyertai tumpeng adalah telur dadar, ikan asin, perkedel, abon, kedelai goreng, timun, dan daun seledri. Namun untuk lebih bervariasi, bisa menyertakan tempe kering, srundeng, urap kacang panjang, ikan asin, dan lele goreng. Dalam pemilihan lauk-pauk tersebut mempunyai pengartian makna tradisional tumpeng. Lauk-pauk yang dianjurkan terdiri dari hewan darat(ayam atau sapi), hewan laut (rempeyek teri, ikan bandeng, ikan lele) dan sayur mayur (kankung, bayam atau kacang panjang). Setiap lauk-pauk tersebut mempunyai pengertian tersendiri dalam budaya Jawa dan Bali.

            Lomba membuat dan merias tumpengpun  sudah semakin marak saat ini. Misalnya saja dalam rangka memeriahkan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia, para ibu dengan sangat antusias berkelompok membuat tumpeng dan meriasnya dengan kreasi masing-masing. Contoh lain juga dalam ujian praktek di sekolah, berkreasi membuat tumpeng salah satu materi yang diujikan. Ketrampilan membuat tumpeng mengandung banyak aspek mulai kreatifitas penampilan, ketelatenan, kerjasama (karena biasanya akan dikerjakan oleh lebih dari satu orang), dan rasa juga harus sangat diperhatikan. Karena penampilan cantik saja tidak cukup, tumpeng harus mempunyai rasa yang pas dan lezat mengingat biasanya makanan ini disajikan untuk orang banyak.

Nah, itu tadi ulasan tentang sejarah asal-usul, filosofi, dan fungsi sajian tumpeng serta beberapa aktifitas yang digelar dengan melibatkan sajian nasi tumpeng. Lestarikan dan hidupkan kuliner Indonesia!

Salam

Rabu, 08 April 2015

PARIS, THE PLACE I DREAMED OFF!

                                              

Paris, 24 September 2014
Masih seperti mimpi!
Ketika pesawat mendarat  di bandara Charles de Gaulle Paris hatikupun berdebar, terharu dan tidak henti-hentinya mengucap rasa syukur dalam hati. Satu persatu mimpi-mimpiku terwujud, doaku terkabul. Lalu nikmat apalagi yang engkau dustakan? Rasanya tak ada lagi alasan untuk tidak mensyukuri semua ini.

Tak bisa dipungkiri memang, mataku sempat berkaca-kaca ketika pesawat take off dari bandara Adi Sutjipto Yogyakarta.  Hari itu hari yang membahagiakan juga sekaligus menyedihkan. Menyenangkan karena akhirnya mimpiku pergi ke Prancis terealisasi dan menyedihkan karena lagi lagi aku harus jauh dari keluarga, teman, dan orang-orang tersayang. It’s always hard to say good bye! Dan akupun memang tak mengatakan kata perpisahan. Satu persatu ku peluk untuk meminta doa restu seriring dengan doa semoga kami bisa dipertemukan lagi tahun depan dengan keadaan yang lebih membahagiakan. Tak luput kusalami tangan-tangan mungil yang ikut mengantarkanku ke bandara siang itu. Tangan mungil yang suka iseng kadang menjengkelkan karena mereka sering sekali ribut karena berebut sesuatu dengan yang lain. Ah! Tapi aku sudah merindukan kalian hai si pemilik tangan mungil. Ya! Mereka keponakan-keponakanku.
Siang itu, 23 September 2014 aku terbang ke Perancis bersama seorang kawan satu kampus dulu di UNY. Mba’ Aceng! Begitulah aku memanggilnya. Awalnya kami berancana membooking tiket pesawat bersama, dengan tujuan agar kami bisa menikmati perjalanan panjang nan melelahkan itu berdua. Namun apa daya, harapan tak sesuai dengan kenyataan. Host family dia sudah membelikan tiket dan singkat cerita dia mendapatkan tiket dengan tempat transit yang berbeda. Well, we can do nothing. Tapi meskipun demikian, kami satu pesawat ketika terbang ke Jakarta.
Perjalanan yang sangat melelahkan. 8 jam terkungkung di dalam pesawat (Jakarta-Abu Dhabi) dan 7 jam lagi (Abu Dhabi-Paris). Tapi kelelahan berangsur-angsur sirna ketika aku menginjakkan kaki di kota Napoleon itu. Melihat tata kota yang indah dari dalam bus Air France dari bandara. Pagi itu aku harus naik bus dari bandara menuju rumah seorang teman di Paris. Dia kakak angkatan di kampus yang saat ini bekerja di kedutaan Indonesia di Paris (keren yah!). Karena hari itu dia sedang bekerja, aku dijemput roomatenya di halte bus di mana bus yang aku tumpangi berhenti. Yes! Akhirnya aku bertemu mas Lutfi di halte. Ingin rasanya buru-buru sampai rumah. Badan yang lengket dan capek membuat aku tak menghiraukan lagi beratnya isi koper yang hampir 30 kg. Naik turun tangga di stasiun metro dengan mengangkat beban seberat itu membuat pundakku mau roboh.Ah sebentar lagi sampai.pikirku! dan sampai juga setelah beberapa menit. Akupun langsung memberi kabar orang rumah. Ketika koneksi internet nyala, bbm, sms, wasap,semuanya berebut minta dibaca. Setelah itu akupun mandi dan waktunya tidur siang…….
Besok petualangan akan dimulai. Berbekal city map dan petunjuk transportasi yang diberikan mas Ari aku akan menjelajah kota ini. “Menjelajah” kota impian. Paris, The city of the Light!!! J
 
 
 

Au Pair in America

 
   "Au Pair Gathering" in New York City 

 
Hi everyone!

My name is Niha. I would love to share my au pair experience in the U.S. I have many great memories and stories of my year. In April 2013, I travelled from Indonesia to the U.S. That was my very first time going abroad. I felt a little bit nervous about traveling on my own and living far from home. I was sad to leave my country, my family, and my friends, but, on the other hand, I was very happy to have this opportunity. I didn’t even have a dream to come to the U.S. One day, I received an email from a host family in America, who told me that they needed an au pair. Well, finally, I came to the U.S. The adventure began.

 
I arrived in Florida and met the CEO of Expert Au Pair, the staff, the trainers, and three other girls. The three girls were from China, the Philippines, and Vietnam. I was so happy to meet them. We had a great time there during au pair training. After training, we were ready to join our host family. We would be living in different cities. Two girls would live in Chicago, one in New Jersey, and I would live in Baltimore. I experienced an unforgettable story, which was so silly. But it really happened to me! I was supposed to take a plane to Baltimore, but I took the wrong plane that was going to Louisville. I went to the wrong gate! I didn’t even know how it could have happened. It was just so silly!

 
Well, in the beginning everything was difficult. I didn’t speak English very well; I didn’t have many friends, and it made me feel homesick. In my first four months in the U.S., I was not happy, but I had to be responsible for my decision to be an au pair. It was not easy living together with the family in a different culture. We had to really understand and respect each other. But, my host family and I always discussed problems together. The family respected my schedule. If there was something that I should improve in taking care of the kids, they told me. So, I really knew what I had to do with the kids. I was thankful for my host family’s guidance.During my stay, I loved doing crafts, playing, doing learning time, painting, and many other interesting activities with the kids. I became close to the kids, getting to know what they needed, and learned to handle them in many conditions. I travelled with my host family a few times: to Chicago, Florida, and Philadelphia. We had a good relationship even though we had a few little problems sometimes. But we always tried to solve the problems together. Even now, we still keep in touch, and I can see the kids grow up. They are getting big now.

In my free time, I used to go out (shopping, sightseeing, library, or go to the bookstore), or just go for a walk to the harbor, and meet some friends. I love to meet new people and and talk to them.

In the family, I also learned how to make some American dishes. In the beginning, I didn’t like cheesy food, which is very common in the U.S. But by the time I was getting ready to return home to Indonesia, I was getting used to the American food. Now I love it! American food and Indonesian food are really different, so I learned a lot.

I really loved school. I took English and French courses at the community college. I enjoyed the experience so much, and I had nice friends in the class from many different countries. It was the best time to talk about our cultures, foods, education, and many other things. Not only that, but I also had two wonderful English teachers (one German and one American). I often told them that my English is not good. But they always encouraged me, and I kept trying to improve my English. I also had dinner with my German teacher and her family a few times. We went to a performance of classical music as well, which we enjoyed.  We always discussed interesting things. They loved to ask about my country, my family, my school, and Indonesian food. When I moved to the suburb, the problem began. The school was now far from the house. I had to take two different buses and a train to get there. It was a little bit complicated and scary because I would be very late arriving home. My class was in the evening and finished at 9:30 PM. After that I had to catch a bus, a train, and one more bus to get home. But since my American teacher knew that, she always picked me up and took me back home. I cannot describe how thankful I am to these two wonderful teachers. Before I left the U.S we had a farewell party.  My teachers gave me gifts, and we ate together in the class with the other students. They each wrote me something in a card, and I was moved to tears. What an impressive moment!

Well, here is my little story. My au pair experience totally changed my life. I am more independent, know how to handle the kids in many conditions, and, of course, learned about a new culture. Also, I have really improved my English language skills. I had opportunities to see some states and made friends from all around the world. I could open my mind and my heart to have a new perspective of the world. Thank you so much for Expert Au Pair, my host family, my teachers, and my friends for being a part of my journey in the U.S.

 

 

 

Senin, 16 Maret 2015

YOGYAKARTA


YOGYAKARTA

Par : Agung Julianto, Dafros Leru, Nihayatu Zunairoh

Yogyakarta est une des provinces en Indonésie. Il se trouve au sud de Java Central. Le nom de Yogyakarta dérive de mots javanais Ngayojakarta. Ngayoja signifie tranquille et karta qui veut dire fertile, donc la province est souhaitée de devenir une region tranquille et fertile.

Il a été fondé par le Premier Sultan en 1775.  Yogyakarta est une province fondée par la region du sultanat Ngayogyakarta Hadiningrat et le roi seconde dont le titre est Pakualaman. En plus, la trace de la region sont Kasultanan Surakarta Hadiningrat et Praja Mangkunagaran. Alors Yogyakarta a 4 départements et 1 municipalité. Ainsi qu’au Sud c’est Bantul , au Sud-est c’est Gunung Kidul, à l‘Ouest-sud c’est Kulon Progo, au Nord c’est Sleman et au centre ville c’est municipalité.

Comme la frontière, au Nord Yogyakarta est limité par le volcan qui est encore actif, Merapi. au Su, il est bordé par l’océan indienne, à l’Est et à l’Ouest c’est le territoire de Central Java.

La population totale est 3.000.000 d’habitants à peu près. La grande majorité des habitants sont musulmanes.

Il y a beaucoup de lieux touristiques comme Malioboro (le grand centre de commerce) et justement c’est la rue principale, le zoo de Gembiraloka, le chateau d’eau Taman sari, les musées comme Monumen Jogja Kembali comme le musée historique, Le palais du Sultant (kraton), le musée de Sonobudoyo, Le temple de Prambanan, Ratu Boko, Le volcan de Merapi etc. D’ailleurs on  trouve beaucoup de productions d’artisanats comme la fabrication argenterie.

On y peut trouver aussi les repas typiques comme gudeg (plat à base de jacquier), bakmi godhog (les noiulles cuites), la brochette du lapin etc.Yogyakarta est bien connue comme “ Kota Pelajar” c’est-a-dire la ville universitaire parce qu’il existe plus de 100 universités privées et d’États qu’elles sont bien réputés. Alors, on peut dire aussi que yogyakarta est appelé le petit Indonésie sur le plan culturelle, c’est pouquoi on peut trouver beaucoup de jeunes viennent de province d’extérieur.


gudeg (plat à base de jacquier) c’est les repas typique
Le trans Jogja

Pour se déplacer, ne vous inquitez pas. La province compte de nombre bus, mais aussi des andongs (des sados), des becaks (des pousse-pousse), des taxis et des motos, ici c’est possible de louer un moto. En  février 2008, un nouveau mode de transport en commun climatisé  dénommé Transjogja qui a  été mis en service. Il faut payer Rp 3.000,00